Kami mengunjungi pabrik
batik bukanlah kali pertama, namun yang satu ini tempat pembuatan batik Banten.
Aku hanya lihat-lihat aja nggak berbelanja batik, soalnya nggak ada ukurannya.
Kemeja batik yang ada paling besar berukuran L untuk ukuran pria Banten, kalau
ukuran baju yang biasa aku beli batik tadi berukuran M.
Tukang jemur batik sedang bergaya |
Kemeja batik lengan pendek
dibandrol dengan harga Rp 175 ribu, menurutku terlalu mahal, tetapi mungkin aja
karena aku yang nggak tahu harga.
Motifnya sederhana, nggak
jelimet, tipenya batik pesisir, aku kurang suka. Tulisan ini bukan upayaku
untuk tidak mau membeli batik Banten loh.
Aku mencoba untuk mewarnai
batik, awalnya ragu-ragu karena takut blobor. Si perajin batik batik
memperagakan acara mewarnai dengan benar, nggak sulit ternyata.
Aku juga melihat
ketrampilan perajin melukis batik, tangan mereka cekatan sekali, di sampingku
Susyanto turut memperhatikan.
“Men, gue jadi inget karya
tulis gue”
“Guru pembimbing elo
siapa?”
“Mak Uwok”.
“Elo cuma dapet enam ya?”.
Susyanto menganguk dan
tersenyum malu.
![]() |
Aku buka rahasia
angkatanku ya, bukan karena Mak Uwok, yang bernama asli ibu Siti Anifah, yang
kecam menilai karya tulis murid yang dibimbingnya dengan nilai paling mentok
kepala 6.
Mak Uwok pasti bosenlah
karena hampir separuh murid yang study tour ke Jogjakarta membikin karya tulis
tentang batik. Emang nggak bisa bikin karya tulis selain batik.
![]() |
|
“Elo juga dapet enem ya?”,
Susyanto mencari teman.
“Enak aja!, nilai gue 8”.
Karya tulisku dibimbing
pak Dasril, aku beri judul Taman Nasional Ujung Kulon, dengan Rhinoceros
sondaicus, badak jawa, sebagai master piece-nya.
Kalau kamu bikin karya
tulis tentang batik, bacanya sambil senyum-senyum ya?, soalnya cuma dapat 6
sih!.
No comments:
Post a Comment